| Pengalaman Naik Angkot |
| Ditulis Oleh Rumah Cerdas Kreatif | |||||||
| Friday, 31 July 2009 | |||||||
|
Ada pengalaman tersendiri ketika untuk pertama kalinya mencoba menggunakan angkutan umum untuk pulang dari kantor saya di wilayah Pancoran ke kediaman kami di wilayah Cibubur. Sudah cukup lama saya tidak menggunakan angkutan umum. Sejak dahulu saya memang lebih memilih menggunakan motor butut saya ketimbang menggunakan kendaraan umum. Alasannya hanya untuk efisiensi waktu saja. Karena jika menggunakan angkutan umum, agak sulit memastikan lama perjalanan. Ini karena sifat angkutan umum di Jakarta yang sering sekali ngetem di titik-titik tertentu.
Kali ini saya mencoba menggunakan kendaraan umum untuk pulang ke rumah saya di Cibubur. Pesan dari teman kantor, dari halte depan kantor saya dianjurkan untuk naik bis apa saja yang arahnya adalah ke Cawang-Uki, setelah itu saya dianjurkan untuk naik angkot Elf nomor 56 Jurusan Cawang-Ciluengsi. Tiba di halte depan kantor, saya langsung naik Bis PPD yang saya lupa Nomor Jurusannya, tetapi yang saya ingat adalah sang kondektur yang berteriak Cawang-Uki ketika menawarkan untuk naik kepada orang-orang di halte. Bis PPDnya cukup unik ternyata. Terlihat Bis ini diproduksi oleh China, karena semua petunjuk di dalam bis semuanya adalah tulisan Cina. Bangkunya hanya ada 2 baris saja, yaitu di sisi kiri dan sisi kanan dan setiap baris hanya ada 1 shaf saja. Akibatnya ruang untuk orang berdiri di bagian tengah bis cukup besar dan dapat menampung banyak penumpang. Saya terpaksa berdiri dan berpegang pada tali yang bergantung karena tidak ada tempat duduk yang kosong. Karena tidak tahu berapa yang harus saya bayar, maka saya serahkan uang lima ribu rupiah kepada sang kondektur. Saya mendapatkan uang kembali sebesar 3 ribu rupiah. Situasi jalan pada malam itu nampaknya berpihak di diri saya. Tidak butuh waktu lama untuk menempuh perjalanan Pancoran hingga ke UKI. Seperti kebanyakan angkutan umum di Jakarta, saya harus segera turun dari Bis ketika sudah mencapai Perempatan UKI dalam kondisi Bis masih berjalan pelan. Sang Kondektur hanya berteriak kencang, Turun Kaki Kiri ... Turun Kaki Kiri .... Sebuah pesan yang cukup penting bagi orang yang tidak terbiasa naik kendaraan umum. Karena hampir dipastikan kita akan terjerembab jatuh ketika turun dengan menggunakan kaki kanan saat bis dalam kondisi berjalan pelan. Turun dari Bis, saya bergegas menyeberang ke lajur jalan yang mengarah ke arah Cililitan. Di perempatan, saya menunggu Angkot 56 tujuan Cileungsi. Kali ini keberuntungan nampaknya juga berada di pihak saya. Tidak perlu menunggu lama, angkot yang saya tunggu akhirnya tiba. Saya bersama 3 orang lainnya berebut masuk ke dalam angkot. Penumpang didalam angkot ternyata sudah penuh. Hanya menyisakan tempat duduk tambahan di bagian tengah untuk 3 orang penumpang. Saya akhirnya memilih duduk dengan posisi menghadap belakang. Posisi duduk yang terus terang belum pernah saya alami. Semua tempat duduk terisi penuh, pintu angkot akhirnya ditutup dan angkot melaju menuju Pintu masuk Tol. Angkot dengan tipe Elf tersebut diisi dengan total sebanyak 24 orang penumpang. WOW ... cukup fantastic ... saya akan pertimbangkan untuk menyewa angkot tipe ini bila saya memerlukan kendaraan carter. Nah, saat angkot mulai melaju inilah saya mendapatkan hal yang baru. Kendaraan jenis angkot seperti ini memang tidak menggunakan Kondektur. Namun bila tipe angkutan lainnya cara membayarnya dilakukan pada saat penumpang turun dengan memberikan ongkos angkutnya langsung kepada supir, maka untuk angkot No.56 Jurusan Cawang Cileungsi ini, ternyata model pembayarannya agak lain. Dari 24 penumpang yang ada, salah satu diantaranya akan dengan sukarela menjadi volunteer meminta ongkos dari penumpang lainnya. Semua penumpang lainnya menyerahkan ongkos kepada penumpang yang menjadi relawan menggantikan tugas kondektur. Tiap penumpang membayar ongkos 4 ribu rupiah. Jika Angkot menggunakan AC maka ongkosnya menjadi 4.500 perak. Sang relawan bertanggungjawab menarik ongkos dari semua penumpang. Termasuk memastikan memberikan uang kembalian ke penumpang yang tidak membayar dengan uang pas. Setelah uang terkumpul, maka sang volunteer akan menyerahkannya kepada sang sopir. Kendaraan kemudian terus meluncur menuju tujuan akhir di Cileungsi. Sungguh sebuah pengalaman baru, bahwa kebutuhan akan sarana angkutan umum memang sangat mendesak. Alih-alih minta kenyamanan naik angkutan umum, banyak orang yang harus rela berjejalan di dalam angkot. Untuk kasus di angkot 56, karena kesamaan nasib dan kesamaan kebutuhan akan sarana angkutan, merekapun tidak berkeberatan menjadi kondektur dadakan bagi sang supir angkot. Senasib dan sependeritaan memang dapat memunculkan kebersamaan dan kesukarelaan.
Powered by !JoomlaComment 3.20
3.20 Copyright (C) 2007 Alain Georgette / Copyright (C) 2006 Frantisek Hliva. All rights reserved." |
|||||||