Newsflash

Wisata Borobudur - Mendut PDF Cetak E-mail
Ditulis Oleh Rumah Cerdas Kreatif   
Friday, 06 November 2009

Pada tanggal 2 November 2009 yang lalu, kami dan keluarga besar kami, berkesempatan untuk berkunjung ke salah satu objek wisata edukasi yang terkenal se-antero dunia, yaitu Candi Borobudur.  Kami sekeluarga juga menyempatkan diri untuk berkunjung ke Candi Mendut.

Kunjungan ke Candi Borobudur dan Candi Mendut adalah pengalaman edukasi yang menyenangkan untuk Dhany dan Izan.  Selama ini Dhany dan Izan hanya mendengar Candi Borobudur dan Candi Mendut melalui pelajaran di sekolah, dan kunjungan secara langsung membuat Dhany dan Izan senang dan merasa bahwa bentuk nyatanya ternyata lebih megah dan hebat dibandingkan dengan cerita guru mereka di kelas.

ImageImage

Saat berkunjung ke Candi Borobudur, satu hal yang paling menyebalkan adalah para pedagang asongan yang menawarkan dagangannya dengan cara yang tidak simpatik.  Bahkan ketika mobil baru masuk area parkir, para pedagang asongan secara bergerombol sudah mengganggu pengunjung yang datang ke lokasi candi borobudur.

ImageImage

Selain pedagang asongan, petugas kereta wisata juga memberikan informasi yang menyesatkan kepada pengunjung.  Para pengunjung diberikan informasi yang salah bahwa pintu masuk ke Candi Borobudur dikatakan lokasinya cukup jauh bila berjalan kaki dan disarankan menggunakan Kereta wisata. 

ImageImage

Saat berkeliling dengan kereta wisata, tidak ada satupun petugas yang memberikan informasi tentang kawasan Candi Borobudur.  Ini bisa dimaklumi, karena di gerbang masuk sudah ada meja petugas guide yang memasang plang tarif guide sebesarRp. 50.000 untuk satu kali kunjungan.  Kereta wisata ternyata hanya berputar di kawasan Borobudur dan berhenti di pintu masuk yang lokasinya ternyata tepat 100 meter di depan tiket penjualan  kereta wisata.

Mengutip artikel yang terdapat pada wikipedia, maka dapat diuraikan sedikit tentang hal yang mencakup Candi Borobudur adalah sebagai berikut :

Borobudur adalah nama sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Lokasi candi adalah kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra.

ImageImage

ImageImage

Nama Borobudur

Banyak teori yang berusaha menjelaskan nama candi ini. Salah satunya menyatakan bahwa nama ini kemungkinan berasal dari kata Sambharabhudhara, yaitu artinya "gunung" (bhudara) di mana di lereng-lerengnya terletak teras-teras. Selain itu terdapat beberapa etimologi rakyat lainnya. Misalkan kata borobudur berasal dari ucapan "para Buddha" yang karena pergeseran bunyi menjadi borobudur. Penjelasan lain ialah bahwa nama ini berasal dari dua kata "bara" dan "beduhur". Kata bara konon berasal dari kata vihara, sementara ada pula penjelasan lain di mana bara berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya kompleks candi atau biara dan beduhur artinya ialah "tinggi", atau mengingatkan dalam bahasa Bali yang berarti "di atas". Jadi maksudnya ialah sebuah biara atau asrama yang berada di tanah tinggi.

Sejarawan J.G. de Casparis dalam disertasinya untuk mendapatkan gelar doktor pada 1950 berpendapat bahwa Borobudur adalah tempat pemujaan. Berdasarkan prasasti Karangtengah dan Kahulunan, Casparis memperkirakan, pendiri Borobudur adalah raja dari dinasti Syailendra bernama Samaratungga sekitar 824 M. Bangunan raksasa itu baru dapat diselesaikan pada masa putrinya, Ratu Pramudawardhani. Pembangunan Borobudur diperkirakan memakan waktu setengah abad.

ImageImage

Struktur Borobudur

Candi Borobudur berbentuk punden berundak, yang terdiri dari enam tingkat berbentuk bujur sangkar, tiga tingkat berbentuk bundar melingkar dan sebuah stupa utama sebagai puncaknya. Selain itu tersebar di semua tingkat-tingkatannya beberapa stupa.

Borobudur yang bertingkat sepuluh menggambarkan secara jelas filsafat mazhab Mahayana. bagaikan sebuah kitab, Borobudur menggambarkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan menjadi Buddha.

Bagian kaki Borobudur melambangkan Kamadhatu, yaitu dunia yang masih dikuasai oleh kama atau "nafsu rendah". Bagian ini sebagian besar tertutup oleh tumpukan batu yang diduga dibuat untuk memperkuat konstruksi candi. Pada bagian yang tertutup struktur tambahan ini terdapat 120 panel cerita Kammawibhangga. Sebagian kecil struktur tambahan itu disisihkan sehingga orang masih dapat melihat relief pada bagian ini.

Empat lantai dengan dinding berelief di atasnya oleh para ahli dinamakan Rupadhatu. Lantainya berbentuk persegi. Rupadhatu adalah dunia yang sudah dapat membebaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk. Tingkatan ini melambangkan alam antara yakni, antara alam bawah dan alam atas. Pada bagian Rupadhatu ini patung-patung Buddha terdapat pada ceruk-ceruk dinding di atas ballustrade atau selasar.

Mulai lantai kelima hingga ketujuh dindingnya tidak berelief. Tingkatan ini dinamakan Arupadhatu (yang berarti tidak berupa atau tidak berwujud). Denah lantai berbentuk lingkaran. Tingkatan ini melambangkan alam atas, di mana manusia sudah bebas dari segala keinginan dan ikatan bentuk dan rupa, namun belum mencapai nirwana. Patung-patung Buddha ditempatkan di dalam stupa yang ditutup berlubang-lubang seperti dalam kurungan. Dari luar patung-patung itu masih tampak samar-samar.

Tingkatan tertinggi yang menggambarkan ketiadaan wujud dilambangkan berupa stupa yang terbesar dan tertinggi. Stupa digambarkan polos tanpa lubang-lubang. Di dalam stupa terbesar ini, diduga dulu ada sebuah patung penggambaran Adibuddha. Patung yang diduga berasal dari stupa terbesar ini kini diletakkan dalam sebuah museum arkeologi, beberapa ratus meter dari candi Borobudur. Patung ini dikenal dengan nama unfinished Buddha.

Di masa lalu, beberapa patung Buddha bersama dengan 30 batu dengan relief, dua patung singa, beberapa batu berbentuk kala, tangga dan gerbang dikirimkan kepada Raja Thailand, Chulalongkorn yang mengunjungi Hindia Belanda (kini Indonesia) pada tahun 1896 sebagai hadiah dari pemerintah Hindia Belanda ketika itu.

Borobudur tidak memiliki ruang-ruang pemujaan seperti candi-candi lain. Yang ada ialah lorong-lorong panjang yang merupakan jalan sempit. Lorong-lorong dibatasi dinding mengelilingi candi tingkat demi tingkat. Di lorong-lorong inilah umat Buddha diperkirakan melakukan upacara berjalan kaki mengelilingi candi ke arah kanan. Bentuk bangunan tanpa ruangan dan struktur bertingkat-tingkat ini diduga merupakan perkembangan dari bentuk punden berundak, yang merupakan bentuk arsitektur asli dari masa prasejarah Indonesia.

Struktur Borobudur bila dilihat dari atas membentuk struktur mandala.  Struktur Borobudur tidak memakai semen sama sekali, melainkan sistem interlock yaitu seperti balok-balok Lego yang bisa menempel tanpa lem.

Relief

Di setiap tingkatan dipahat relief-relief pada dinding candi. Relief-relief ini dibaca sesuai arah jarum jam atau disebut mapradaksina dalam bahasa Jawa Kuna yang berasal dari bahasa Sansekerta daksina yang artinya ialah timur. Relief-relief ini bermacam-macam isi ceritanya, antara lain ada relief-relief tentang wiracarita Ramayana. Ada pula relief-relief cerita jātaka.

Pembacaan cerita-cerita relief ini senantiasa dimulai, dan berakhir pada pintu gerbang sisi timur disetiap tingkatnya, mulainya disebelah kiri dan berakhir disebelah kanan pintu gerbang itu. Maka secara nyata bahwa sebelah timur adalah tangga naik yang sesungguhnya (utama) dan menuju puncak candi, artinya bahwa candi menghadap ke timur meskipun sisi-sisi lainnya serupa benar.

Secara runtutan , maka cerita pada relief candi secara ringkat bermakna sebagai berikut :

Karmawibhangga

Salah satu ukiran Karmawibhangga di dinding candi Borobudur (lantai 0 sudut tenggara)Sesuai dengan makna simbolis pada kaki candi, relief yang menghiasi dinding batur yang terselubung tersebut, menggambarkan hukum karma. Deretan relief tersebut bukan merupakan cerita seri ( serial ), tetapi pada setiap pigura menggambarkan suatu cerita yang mempunyai korelasi sebab akibat. Relief tersebut tidak saja memberi gambaran terhadap perbuatan tercela manusia disertai dengan hukuman yang akan diperolehnya, tetapi juga perbuatan baik manusia dan pahala. Secara keseluruhan merupakan penggambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir - hidup - mati (samsara) yang tidak pernah berakhir, dan oleh agama Buddha rantai tersebutlah yang akan diakhiri untuk menuju kesempurnaan.

Lalitawistara

Merupakan penggambaran riwayat Sang Buddha dalam deretan relief-relief (tetapi bukan merupakan riwayat yang lengkap ) yang dimulai dari turunnya Sang Buddha dari sorga Tusita, dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat kota Banaras. Relief ini berderet dari tangga pada sisi sebelah selatan, setelah melampui deretan relief sebanyak 27 pigura yang dimulai dari tangga sisi timur. Ke 27 pigura tersebut menggambarkan kesibukan, baik di sorga maupun di dunia, sebagai persiapan untuk menyambut hadirnya penjelmaan terakhir Sang Bodhisattwa selaku calon Buddha. Relief tersebut menggambarkan lahirnya Sang Buddha di arcapada ini sebagai Pangeran Siddhartha, putra Raja Suddhodana dan Permaisuri Maya dari Negeri Kapilawastu. Relief tersebut berjumlah 120 pigura, yang berakhir dengan wejangan pertama, yang secara simbolis dinyatakan sebagai Pemutaran Roda Dharma, ajaran Sang Buddha di sebut dharma yang juga berarti "hukum" ,sedangkan dharma dilambangkan sebagai roda.

Jataka dan Awadana

Jataka adalah cerita tentang Sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Isinya merupakan pokok penonjolan perbuatan baik, yang membedakan Sang Bodhisattwa dari mahluk lain manapun juga. Sesungguhnya, pengumpulan jasa / perbuatan baik merupakan tahapan persiapan dalam usaha menuju keringkat ke buddha an.

Sedangkan Awadana, pada dasarnya hampir sama dengan Jataka akan tetapi pelakunya bukan Sang Bodhisattwa, melainkan orang lain dan ceritanya dihimpun dalam kitab Diwyawadana yang berarti perbuatan mulia kedewaan, dan kitab Awadanasataka atau seratus cerita Awadana. Pada relief candi Borobudur jataka dan awadana, diperlakukan sama, artinya keduanya terdapat dalam deretan yang sama tanpa dibedakan. Himpunan yang paling terkenal dari kehidupan Sang Bodhisattwa adalah Jatakamala atau untaian cerita Jataka, karya penyair Aryasura dan jang hidup dalam abad ke-4 Masehi.

Gandawyuha

Merupakan deretan relief menghiasi dinding lorong ke 2,adalah cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari Pengetahuan Tertinggi tentang Kebenaran Sejati oleh Sudhana. Penggambarannya dalam 460 pigura didasarkan pada kitab suci Buddha Mahayana yang berjudul Gandawyuha, dan untuk bagian penutupnya berdasarkan cerita kitab lainnya yaitu Bhadracari.

 

CANDI MENDUT

ImageImage

Candi Mendut terletak di Desa Mendut, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Candi Mendut merupakan candi yang terletak paling timur dari garis lurus tiga serangkai percandian (Borobudur, Pawon, Mendut). Candi yang terletak sekitar 3 kilometer arah timur dari Candi Borobudur ini merupakan candi yang bersifat Budhistis1 yang dibangun oleh Raja Indra dari wangsa Syailendra. Namun, kapan tepatnya candi ini didirikan oleh Raja Indra belum dapat diketahui secara pasti.

ImageImage

Seorang arkeolog Belanda menyebutkan bahwa di dalam prasasti yang ditemukan di Desa Karangtengah bertarikh 824 Masehi, menyatakan bahwa Raja Indra telah membangun sebuah bangunan suci bernama Venunava yang berarti hutan bambu. Dan, jika hal ini benar, maka Candi Mendut diperkirakan didirikan sekitar tahun 824 Masehi. 

Candi Mendut yang terbuat dari batu andesit dengan luas bangunan secara keseluruhan adalah 13,7×13,7 dan tinggi 26,4 meter baru ditemukan oleh arkeolog Belanda pada tahun 1836. Kemudian, pada tahun 1897 dan 1904 pada bagian tubuh candi direnovasi, namun hasilnya kurang memuaskan. Baru pada tahun 1908 candi dipugar kembali hingga ke bagian puncaknya. Dan, pada tahun 1925 sejumlah stupa yang telah dirapikan, dipasang dan disusun kembali.

Image

Pada bagian dalam bangunan candi terdapat ruangan yang berisi altar tempat tiga arca Budha yang masih dalam kondisi baik. Ketiga arca tersebut mulai dari yang paling kiri adalah Bodhisattva Vajravani, Budha Sakyamuni dalam posisi duduk bersila dengan tangan memutar roda dharma, dan Bodhisattva Avalokitesvara dalam posisi sedang memegang bunga teratai yang diletakkan di atas telapak tangannya. Saat ini, di depan arca-arca tersebut dipasang sebuah pagar besi untuk menghindari interaksi pengunjung yang berlebihan. 

Ragam hias bangunan

Bangunan Candi Mendut mempunyai banyak ragam hias atau relief, mulai dari kaki, tubuh hingga atapnya. Berikut ini adalah uraian tentang relief-relief tersebut.

Pada sayap tangga, terdapat relief seekor kura-kura yang sedang diterbangkan oleh dua ekor angsa. Cara menerbangkannya adalah dengan menggunakan tongkat yang dicengkram pada bagian ujungnya oleh seekor angsa, sementara sang kura-kura menggigit bagian tengah tongkat tersebut. Saat berada di udara, banyak orang yang melihat dan mencemooh ulah kedua jenis binatang itu. Karena tidak tahan mendengar olokan, maka kura-kura melepaskan gigitannya sehingga jatuh ke tanah dan akhirnya mati.

Selain itu, di sayap tangga juga terdapat relief yang melukiskan kisah tentang seorang Brahmana yang menyelamatkan seekor ketam/kepiting dari gangguan burung dan ular. Pada kaki candi terdapat hiasan kahyangan (sorga), sebuah relief yang menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dikelilingi bunga dan daun-daunan yang distilir dan relief seekor kera sedang duduk di atas punggung buaya yang dihias dengan bunga-bungaan di sekitarnya.

Pada dinding candi sebelah luar terdapat relief Dewi Tara yang sedang duduk bersemedi di bawah pohon kalpataru dan relief Sang Budha yang sedang berdiri di antara pilar-pilar dan berlindung di bawah payung. Pintu masuk ke candi dihiasi dengan relief kalpataru. Kalpataru berasal dari bahasa Sanskerta. Istilah ini merupakan gabungan antara kata "kalpa" dan "taru". "Kalpa" berarti "keinginan" atau "pengharapan" dan "taru" berarti "pohon". Jadi, kalpataru dapat diartikan sebagai "pohon pengharapan". Komponen kalpataru yang lengkap terdiri dari enam unsur, yaitu: pohon, hewan pengapit, vas/jambangan bunga, untaian manik-manik atau mutiara, chattra/payung dan burung.

Sedangkan, di dalam ruangan candi terdapat sebuah relief Hariti. Hariti adalah nama raksasa yang sering memangsa anak kecil. Namun, setelah mendapat ajaran kebaikan dari Resi Gautama, ia menjadi raksasa yang baik, tidak lagi memakan anak-anak dan bahkan menjadi pelindung atau ibu asuh. Selanjutnya, Hariti sering mendapat sebutan sebagai Dewi Kesuburan. Relief lain yang mirip dengan Hariti terdapat pada dinding bagian selatan, yaitu Yaksa Atavaka. Sama seperti Hariti, Yaksa Atavaka adalah raksasa yang suka memakan orang. Namun, setelah menjadi pengikut Sang Budha dan mengetahui ajaran-ajarannya, ia berubah menjadi raksasa yang baik dan tidak buas lagi. Relief Yaksa Atavaka digambarkan sedang duduk di atas singgasana yang di bawahnya terdapat pundi-pundi berisi uang dan dikelilingi oleh anak-anak. Yaksa sering disebut dengan Kuvera atau Dewa Kekayaan.

Uraian Candi Mendut diambil dari http://www.wacananusantara.org

Comments
Add New Search
Write comment
Name:
Email:
 
Website:
Title:
UBBCode:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Please input the anti-spam ../../../../code/default.htm that you can read in the image.

3.20 Copyright (C) 2007 Alain Georgette / Copyright (C) 2006 Frantisek Hliva. All rights reserved."

 
< Sebelumnya   Berikutnya >

Daftar Posting

© 2010 Rumah Cerdas Kreatif
Joomla! is Free Software released under the GNU/GPL License.