Newsflash

Patih Gajah Mada PDF Cetak E-mail
Ditulis Oleh Rumah Cerdas Kreatif   
Monday, 21 December 2009

Ketika asyik membaca email yang kami terima dari salah satu milis yang kami ikuti, ketika deretan email disortir berdasarkan nama pengirim, pandangan mata tertuju pada salah satu nama sahabat yang ada di milis.  Namanya Renny Masmada yang ternyata juga mengelola website di alamat www.rennymasmada.com dan http://rennymasmada.wordpress.com  

Sahabat di milis tersebut beberapa kali melakukan posting tulisan yang isinya adalah seputar Tokoh Gajah Mada, seorang Patih yang sangat dikenal oleh seluruh rakyat Indonesia  karena sumpah Amukti Palapanya, yang memotivasi bangsa Indonesia untuk senantiasa menjaga Persatuan dan Kesatuan Bangsa.

Tulisannya menggoda untuk kami cuplik di www.rumahcerdaskreatif.com semata didasari niatan untuk menyebarluaskan informasi yang berguna bagi orang banyak.  Berikut ini adalah Kutipannya secara utuh :

GAJAH MADA


Gajah Mada, pahlawan pemersatu Nusantara, hidup pada zaman keemasan Majapahit di abad ke-14, tercatat pada prasasti dan naskah-naskah sastra para pujangga besar bangsa ini.

Sumpah Amukti Palapa yang sangat sakral, yang diucapkannya di paseban agung Majapahit pada tahun 1334 telah merubah sejarah bangsa besar ini menjadi bangsa yang mempunyai kekayaan budaya, peradaban dan semangat kesatuan yang sangat inheren.

Sejalan dengan filosofi dasar konsepsi persatuan bangsa, BhinnekaTunggal Ika tan hana dharma mangrwa, yang termaktub dalam kitab Sutasoma karya Rakawi Tantular, Gajah Mada terbukti mampu mempersatukan perbedaan dalam bentuk apapun di seluruh persada Nusantara yang sangat heterogen ini.

Semangat Bhayangkara yang melekat dalam dirinya telah membentuk Gajah Mada menjadi seorang tokoh sejarah yang tak lekang dimakan waktu.

Dalam abad ke empat belas, Majapahit  merupakan kekuasaan besar di Asia Tenggara menggantikan kedudukan Mataram dan Sriwijaya.
Dua negara yang berbeda cirinya. Yang pertama sebagai negara pertanian, sedang yang kedua negara maritim. Kedua ciri itu dimiliki olehMajapahit.

Pada abad itu, timbulnya Majapahit di geopolitik Asia Tenggara yang sanggup mempersatukan seluruh perairan Nusantara Raya merupakan peristiwa sejarah yang belum pernah terjadi.

Majapahit menjadi kekuatan besar di  Asia Tenggara yang ditakuti dan disegani negara-negara tetangganya di daratan Asia.

Kekuasaan Majapahit yang sangat luas saat itu terbagi dalam beberapa wilayah kekuasaan. Di Jawa ada sebelas Negara bawahan masing-masing diperintah oleh Raja/Ratu/Prabhu, dan lima propinsi yang disebut Amancanagaramasing-masing diperintah oleh Juru Pengalasan atau Adipati.

Kesebelas Negara bawahan di  tanah Jawa itu adalah: 1. Daha; 2. Wengker; 3. Matahun; 4. Lasem; 5. Pajang; 6.Paguhan; 7. Kahuripan; 8. Singasari; 9. Mataram; 10. Wirabhumi; 11. Pawanuhan. Semua pemegang kuasa di Negara bawahan adalah keluarga Raja Majapahit sesuai dengan Nagarakretagama pupuh VI/4 dan XII/6.

Kelima propinsi yang disebut Amancanagara disebut menurut mata angin yaitu utara, timur, selatan, barat dan pusat/tengah, masing-masing diperintah oleh seorang Mantri Amancanagara atau Juru Pengalasanatau Adipati yang bergelar Rakryan, seperti juga tertulis pada piagamBendasari.

Pola pemerintahan seluruh Negara bawahan dan Amancanagara mengikuti pola pemerintahan pusat. Raja, Juru Pengalasan atau Adipati adalah pembesar yang memegang kuasa dan tanggungjawab Negara, namun pemerintahannya diserahkan kepada Patih.


Dalam Nagarakretagama pupuh X, para pembesar Negara dan para patih Negara bawahan atau Amancanagara apabila datang ke Majapahit, mengunjungi Kepatihan Amangkubumi untuk urusan pemerintahan. Apa yang dilaksanakan di pusat, dilaksanakan di daerah.

Dari patih perintah diteruskan ke Wadana, semacam pembesar distrik kemudian turun ke Akuwu sampai ke Buyut, kepala desa sebagai pimpinan wilayah paling rendah dalam struktur organisasi ketatanegaraan Majapahit.

Yang menarik, sebagai pusat pemerintahan, Majapahit menerapkan konsep otonomi yang sangat luas kepada semua Negara bawahan di sebrang lautan. Para Raja, Juru Pengalasan atau Adipati berdaulat penuh di negaranya masing-masing. Majapahit dalam hal ini tidak ikut campur dengan urusan daerah.

Kewajiban utama daerah bawahan adalah menyerahkan upeti tahunan dan menghadap Raja Majapahit pada waktu-waktu tertentu sebagai bukti kesetiaan pada Majapahit. Mengikuti rapat besar pada waktu-waktu tertentu.

Sedikitnya ada enam macam rapat yang pernah dilakukan. Antara lain: 1. Rapat Perayaan Palguna, 2. Sidang Tentara, 3. Rapat Perayaan Bubat, 4. Rapat Perayaan Caitra, 5. Rapat Paseban dan 6. RapatNusantara.

Dalam Nagarakretagama pupuh XVI/5 ditegaskan bahwa Majapahit melindungi seluruh Negara bawahan dan Amancanagara dengan memelihara Angkatan Laut (Jaladi Bala) yang sangat besar dan tangguh pada abad itu dan sangat ditakuti oleh Negara tetangga di Asia Tenggara.

Bahkan Cina sebagai Negara adikuasa  di selatan Asia saat itu sangat menaruh perhatian terhadap pertumbuhan kekuasaan Majapahit yang begitu pesat. Sehingga pada tahun 1416 melakukan show of force dengan mengirimkan 22 jung besarnya yang mengangkut tidak kurang dari dua puluh tujuh ribu prajurit Cina ke Majapahit di  bawah pimpinan Laksamana Cheng Ho..

Begitu luasnya wilayah kekuasaan Majapahit mengisyaratkan betapa kompleksnya persoalan yang setiap saat muncul di seluruh wilayah yang lebih luas lagi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini.

Sebagai perbandingan, luas geografis Indonesia saat ini yang membentang mulai dari 95Ëš sampai dengan 141Ëš BT dan di antara 60Ëš LU dan 110Ëš LS meliputi 7,9 juta km² wilayah perairan laut termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dikelilingi 81.000 km panjang pantai terpanjang nomor dua di dunia setelah Kanada, dengan memiliki 17.508 pulau terbanyak nomor satu di dunia.

Terbukti, Majapahit yang lebih luas lagi dari Indonesia saat ini mampu bertahan sebagai Negara besar, agung, ditakuti dan disegani selama seratus tujuh puluh tahun.

Kestabilan keamanan dan politiksecara implisit mangandung muatan pemikiran yang mengacu pada pengakuan atas berhasilnya konsepsi Keamanan dan Pertahanan baik di dalam maupun luar negeri yang diterapkan oleh Majapahit (baca: Gajah Mada, sebagai konseptor hampir seluruh kebijakan di segala sektor) secara utuh dan terorganisir.

Konsep strategis sistem dan struktur organisasi keamanan dan pertahanan Majapahit terbukti mampu membawa Negara Agung ini menjadi Negara aman dan berdaulat yang memberikan peluang begitu luas terhadap pertumbuhan di segala sektor: ekonomi, politik, sosial, budaya dan keagamaan.

Memberikan garis struktur dan komando yang jelas terhadap job-description antara Angkatan Darat (Samatya Bala), Badan Intelijen (Sandi Bala), Angkatan Laut (Jaladi Bala) dan Bhayangkara (sebagai kesatuan bersenjata pengawal raja dan kerabatnya) pada saat itu ternyata telah membuktikan adanya regulasi yang sangat brilian, intelektual dan responsif terhadap perkembangan kemajuan peradaban yang sustainable dan futuristik.

Sebagai contoh, dengan ditetapkannya Selat Malaka sebagai Bandar Internasional saat itu sebagai pintu gerbang transaksi perdagangan antara masyarakat Nusantara Raya dengan masyarakat luar seperti Cina, India, Timur Tengah, Campa, Kamboja dan lainnya.

Perairan Selat Malaka, yang begitu ramai dikunjungi para pedagang ke dalam dan ke luar perairan Nusantara Raya terbukti sangat aman dijaga oleh Jaladi Bala yang sangat ditakuti saat itu karena memiliki armada dan prajurit yang sangat tangguh di lautan.

Juga Samatya Bala sebagai kekuatan militer di daratan yang memiliki puluhan ribu prajurit tangguh dalam mengatur strategi tempur di daratan, dan Bhayangkara yang berfungsi sebagai Angkatan `Bersenjata' yang memiliki garis tugas dan tanggungjawab sebagai pengawal masyarakat sipil di seluruh pelosok Nusantara.

Bersama-sama seluruh komponen Angkatan Bersenjata baik di darat dan lautan, para Dharmadhyaksa dan Upapati, Bhayangkara tegar berdiri dan berwibawa sebagai kekuatan yang selalu dekat di istana maupun di seluruh jiwa masyarakat luas, di seluruh wilayah perairan Nusantara Raya.

Di bawah Mapanji Gula-Kelapa (baca: merah-putih), Gajah Mada dengan tegas menetapkan ideologi bangsa yang sangat sakral dan mempunyai muatan falsafah yang sangat luar biasa dan terus up-to-date sampai hari ini, yaitu: Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.

Berdasarkan letak geografis, sejarah nenek-moyang bangsa Nusantara, ideologi dan falsafah Negara sebagai holy-spirit bagi setiap jiwa anak bangsa, Gajah Mada dengan tegas menetapkan konsep Negara Maritim yang sangat implementatif terhadap perkembangan bangsa besar ini.

Konsepsi Negara Maritim, sebagai warisan nenek-moyang terbukti mampu membawa bangsa ini selama seratus tujuh puluh tahun hidup tentram, damai, gemah ripah loh jinawi. Dan berwibawa di mata mancanegara.

Namun, keruntuhan Majapahit akibat perebutan kekuasaan antar kerabat yang sangat klise telah merubah konsepsi dasar falsafah bangsa besar ini menjadi bangsa yang tak lagi mampu menguasai perairan yang sangat luas sebagai kekayaan geografis yang dianugerahkan AllahSWT kepada bangsa ini sejak 5.000 tahun sebelum Masehi, ketika migrasi besar-besaran terjadi di perairan Nusantara ini.

Demak, sebagai "penerus" Majapahit tak mampu mempertahankan konsepsi Negara Maritim sebagai warisan yang sangat mahal yang pernah dimiliki bangsa besar ini.

Setelah Selat Malaka dikuasai Portugis pada tahun 1511, secara tidak langsung bangsa besar yang pernah mengalami kewibawaan dan kemakmuran ini mulai terkubur dan hilang di percaturan politik benua ini.

Berturut-turut, bandar-bandar internasional yang pernah dimiliki Majapahit pada masa kejayaannya mulai berada di bawah kekuasaan bangsa barat.

VOC (1602-1798) dengan signifikan menguasai perairan Nusantara Raya ini. Apalagi setelah terjadi perjanjian Giyanti tahun 1755 antara pihak Belanda dengan Raja Surakarta dan Yogyakarta yang isinya antara lain: diktum bahwa kedua raja keturunan Mataram itu, yang sudah dikendalikan oleh otoritas Belanda, menyerahkan perdagangan laut, hasil bumi dan rempah-rempah dari wilayahnya kepada Belanda.

Sejak itu, nilai-nilai sosial budaya dalam masyarakat Indonesia bergeser, yang semula bercirikan budaya maritim menjadi budaya terestrial. (DjokoPramono, Budaya Bahari, 2004).

Nusantara Raya mati suri selama lebih dari tiga setengah abad.

Kini, ketika kesadaran intelektual yang terinspirasi dari perjalanan panjang sejarah bangsa ini muncul akibat luka sangat dalam oleh pisau tajam penjajahan, dalam bentuk apapun, membangkitkan semangat untuk merebut kembali hak kita atas tanah air warisan nenek-moyang yang pernah membuat bangsa ini berwibawa di mata dunia.

Itu hanya dapat terwujud apabila kita kembali menyadari pentingnya falsafah persatuan dan kesatuan menjadi ideologi dasar Negara ini yang tertulis di Kitab Sutasoma karya pujangga besar RakawiTantular, yaitu: Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa.

Ideologi ini yang mengilhami GajahMada menetapkan konsepsi Negara Maritim yang secara politis terbukti sangat ampuh menjadi infrastruktur Negara Majapahit, Nusantara Raya, menjadi Negara maju di Asia Tenggara, lebih dari enam ratus tahun lalu.

GAJAH MADA, "...jadilah rakyat..!"

Kebesaran Majapahit, berarti kebesaran Gajah Mada, patih yang  telah mengabdi  pada tiga pimpinan pemerintahan selama lebih dari tiga puluh tahun.

Pada tahun 1300/1301,  di aliran    sungai   Brantas yang mengalir dengan derasnya ke arah selatan dataran Malang dan kaki gunung Kawi-Arjuna, lahirlah Gajah Mada kecil dengan nama Pipil.

Setelah dewasa Gajah Mada memiliki beberapa nama lain seperti Empu Mada, Jaya Mada, Dwirada Mada dan Lembu Muksa (sebagai penjelmaan Dewa Wisnu).

Namun menurut kepercayaan orang Bali, seperti tertulis di kitab Usana Jawa, Gajah Mada dilahirkan di pulau Bali Agung tanpa ibu-bapak, terpancar dari dalam buah kelapa, sebagai penjelmaan Sang Hyang Narayana (Yamin G.M. Pahlawan persatuan Nusantara, h. 15)

Bahkan dalam Kakawin Gajah Mada dan Babad Gajah Mada, Gajah Mada adalah Dhatrasutra (putera Dewa Brahma) dan dengan sendirinya mempunyai sifat gaib, tubuhnya mengeluarkan cahaya seperti sinar yang memancar dari intan.

Masih dalam Kakawin Gajah Mada, salah seorang patih Majapahit saat itu sangat tertarik dengan kepribadian Gajah Mada muda yang sangat cerdas dan tekun bekerja layaknya seorang ksatria.

(Pipil) Gajah Mada akhirnya diminta tinggal bersamanya. Bukan itu saja, karena ketertarikkannya, Patih Majapahit itu bahkan kemudian mengawinkan Gajah Mada dengan puterinya yang bernama Ni Gusti Ayu Bebed, yang digambarkan sangat setia kepada suami seperti layaknya puteri Madhawi, puteri raja Yayati.

Banyak sekali dongeng atau legenda mengenai pemuda Gajah Mada. Namun tak satupun ditemukan tulisan yang sangat akurat tentang kelahiran dan masa kecilnya.

Sejarah mulai mencatat biodatanya pada tahun 1328 pada masa pemerintahan Sri Jayanagara pada saat peristiwa Badander.

Kalaupun ada tulisan mengenai kelahiran dan masa kecilnya, itu dibuat atau ditulis jauh setelah Gajah Mada tiada. Nilai sejarahnya menjadi kabur dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

Gajah Mada benar seorang rakyat kebanyakan, bukan dari keluarga bangsawan, dapat dilihat dari gelar yang disandangnya: mpu, bukan dyah. Sebagai seorang biasa, Gajah Mada mempunyai kelebihan dari orang kebanyakan.

Pokok-pokok fikirannya, tindakan dan kebijakannya melebihi siapapun termasuk para bangsawan sendiri. Itulah sebabnya Gajah Mada sering dipersamakan sebagai putera dewa.

Sebagai seorang petinggi kerajaan, Gajah Mada mampu bertindak melebihi pejabat lainnya. Kebangsawanannya tumbuh dari perilaku dan kinerjanya sendiri.

Dialah bangsawan yang sebenarnya, bukan karena keturunan. Pengabdiannya yang luar biasa kepada negara membuatnya bertindak sangat tegas dan tanpa pandang bulu.

Karena terlahir sebagai rakyat biasa, membuatnya sangat perduli dengan kepentingan dan kesejahteraan rakyat banyak. Masa kecilnya di desa terpencil di kaki gunung Kawi-Arjuna telah membentuknya menjadi pemuda perkasa dan tahu melihat penderitaan rakyat banyak.

Keangkuhan para bangsawan yang selama ini telah menambah beban penderitaan rakyat kebanyakan menjadi tolok ukur baginya memerangi para bangsawan yang hanya mengandalkan darah keturunan tanpa pernah melahirkan gagasan memajukan negara untuk memakmurkan bangsa.

Itulah sebabnya, kemunculan Gajah Mada nyaris tidak disukai oleh para bangsawan istana, yang pada umumnya sudah mapan dengan kehidupannya. Yang nyaris tidak lagi kenal arti susah, hidup baginya adalah kemewahan dan pemanjaan ragawi yang sudah menyatu dengan aliran darahnya. Kebanggaan menyandang gelar dan kepangkatan, biasa dilayani bukan melayani, disembah dan selalu diangkat sampai lupa bumi tempatnya berpijak. Bergelimang harta sampai lupa penggunaannya, kalau perlu pelana kudanya  terbuat dari sutera Cina dan disalut dengan emas murni di tepinya.

Dengan ketegaran dan kepercayaan dirinya, Gajah Mada merubah semua kebiasaan dan kebijakan yang selama ini hanya mementingkan para pejabat dan bangsawan istana.

Falsafah Bhinneka Tunggal Ika, tan hana dharma mangrwa, menjadi inspirasi besar bagi Gajah Mada untuk membangun Majapahit. Dengan dasar falsafah persatuan dan kesatuan, seluruh masyarakat `dipaksa' memikirkan orang lain. Tidak berlomba untuk saling menjatuhkan.

Para raja dibuatnya bukan penguasa mutlak. Di atas raja masih ada raja. Sampai Raja Majapahit di pusat kerajaan tanpa sadar dibatasi oleh kebijakan struktural dengan terbentuknya Dewan Sapta Prabhu yang terdiri dari tujuh orang keluarga raja-diraja (setelah tahun 1354 dewan ini beranggotakan sembilan orang, bukan tujuh lagi, dengan Ketua Dewan Sri Rajasanagara sendiri. Tapi dewan ini tetap dinamakan Bhatara Sapta Prabhu).

Untuk mewujudkan itu, Gajah Mada memulai dari dirinya sendiri, sesuai dengan isi sumpah agungnya itu, bahwa dia tidak akan bersenang-senang, beristirahat menikmati pensiun,  sebelum Nusantara Raya ini bersatu.

Sejarah mencatat, baru Gajah Mada, seorang patih yang bertempat tinggal di luar kompleks istana. Dia lebih memilih hidup dan tinggal bersama rakyat di luar  tembok istana. Baru Gajah Mada yang hati, jiwa dan wadagnya betul-betul cerminan rakyat jelata. Kesederhanaan dan kecintaannya kepada rakyat bukan hanya dongeng, tetapi tertulis di atas lempengan tembaga dan batu.

Para pujangga dan para seniman besar sejak zaman itu tidak henti-hentinya membuat pujian kepada orang yang tidak pernah sekalipun terlintas akan mengadakan makar, subversi dan penggulingan pemerintahan padahal dia dapat melakukan itu. Baginya raja atau ratu adalah orang yang harus dihormati dan dijunjung tinggi selama mereka duduk di atas tahta rakyat, bukan tahta kebangsawanan.

Beberapa karya sastra besar menuliskan bahwa Gajah Mada adalah keturunan dewa Brahma. Hal ini terjadi karena para pujangga tidak sanggup lagi menahan perasaan hatinya melihat betapa mulia dan agungnya perilaku dan akhlak Gajah Mada selama memimpin bangsa besar ini.

Para Pujangga itu tidak dapat menerima apabila melihat kenyataan bahwa Gajah Mada hanya seorang rakyat jelata yang lahir di tengah masyarakatnya, bahkan tak seorangpun tahu siapa orang tuanya, dimana rumah masa kecilnya, selain diketahui setelah dewasa Gajah Mada mengabdi di Majapahit sebagai seorang prajurit rendahan, yang kemudian diangkat sebagai bekel, di kesatuan Bhayangkara.

Ketika jabatan Mahapatih Amangkubumi mulai dipegangnya, Gajah Mada memilih tinggal di luar kompleks istana. Dia takut lupa pada rakyat. Dia takut lupa darimana dia berasal. Dia takut lupa bahwa dirinya adalah rakyat jelata.

Dia takut lupa bahwa rakyatlah yang membesarkannya dan memberikannya inspirasi tentang pentingnya persatuan dan kesatuan untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran.

Di sebelah timur laut pasar kotaraja, Gajah Mada mendirikan rumahnya bersebelahan dan berdekatan dengan masyarakat pada umumnya. Dengan begitu, dia dapat langsung merasakan keinginan, kebahagiaan dan penderitaan rakyatnya. Dia menyatu dengan rakyat.

Segala hal yang berhubungan dengan rakyatnya, langsung dirasakan, bukan karena laporan dari bawahannya yang kadang-kadang belum tentu benar. Pada hakekatnya kita lah rakyat itu sendiri. Itu yang sering dikatakan kepada bawahannya. Untuk membahagiakan rakyat dan memajukan negara ini, jadilah rakyat.

PERSATUAN NUSANTARA


Tahun pertama kedudukannya sebagai Mahapatih Amangkubumi, Gajah Mada mengadakan restrukturisasi besar-besaran di Majapahit. Bukan saja SDMnya tapi semua kebijakan dasar pemerintahan.

Bahkan sangat radikal. Tidak ada seorangpun di antara para anggota kabinet Arya Tadah (Mahapatih Amangkubumi sebelumnya) yang diikut sertakan pada kabinetnya. Dan ini tentunya mengundang spekulasi dan resiko logis yang sangat tinggi.

Hanya orang yang mempunyai kepercayaan diri dan kemampuan luar biasa yang dapat melakukannya, apapun akibatnya. Dan Gajah Mada telah melakukannya.

Siapapun yang mencoba menghalangi programnya untuk mempersatukan seluruh Nusantara di bawah satu panji Gula-Kelapa (baca: merah-putih), disingkirkan dari percaturan politik. Kewenangannya dipergunakan secara benar bagi kepentingan bangsa dan negara.

Gajah Mada begitu tegas dan keras memegang falsafah negara yang baru diperkenalkannya itu.

Setelah pengangkatannya itu, banyak bangsawan yang akhirnya meninggalkan lingkungan istana. Mereka malu terhadap kebijakan baru kerajaan yang tidak lagi memberikan peluang bagi para bangsawan murahan yang hidupnya hanya bergelimang dengan konsep-konsep picisan yang tampaknya memajukan negara tapi sebetulnya di balik itu lebih hanya bagaimana mempertahankan kemapanan mereka saja tanpa memikirkan kesejahteraan bangsa secara keseluruhan.

Terbukti kebijakan Gajah Mada benar. Nyaris sejak jabatan Mahapatih Amangkubumi dipegangnya, tidak ada pemberontakan yang berarti. Sejarah mencatat sejak tahun 1334 s.d. 1343, Majapahit tumbuh pesat.

Selama hampir satu dasawarsa, Gajah Mada memusatkan perhatian pada pembenahan di dalam. Membuat kebijakan-kebijakan dan peraturan-peraturan hukum, meningkatkan kemampuan sumber daya manusia dari segala aspek: hukum, pertahanan-keamanan, sosial-politik, ketatanegaraan, agama, ekonomi dan kebudayaan.

Sumber daya yang ada dioptimalkan.

Hasil diplomasi dengan Cina yang dilakukan oleh Adityawarman dijadikan soko guru kebijakan luar negeri Majapahit. Gajah Mada mulai memetakan garis demarkasi 'Nusantara Raya', negara sahabat dan mancanegara jauh seperti  Cina dan India.

Angkatan bersenjata diremajakan. Pada awal kekuasaannya itulah Gajah Mada dengan brilian menetapkan ciri Negara sebagai Negara Maritim.

Untuk itulah Gajah Mada kemudian membentuk armada laut yang sebelumnya tidak 'populer' yaitu Jaladi Bala dengan belajar dari pengalaman dan keberhasilan Sriwijaya menguasai lautan. Dan bahkan sekaligus membangun laut/danau buatan yang cukup luas bagi kepentingan pelatihan prajurit laut mengingat Majapahit tidak memiliki pelabuhan yang dekat dengan pusat pemerintahan.

Sandi Bala, sebagai kesatuan intelijen di bawah struktur militer pusat dioptimalkan. Kesatuan Bhayangkara dikukuhkan fungsinya sebagai keamanan sipil dan pengawal raja. Dalam suatu pertempuran medan, kesatuan Bhayangkara ditempatkan pada garis belakang berfungsi sebagai penjaga keamanan masyarakat sipil.

Hubungan dalam negeri yang saat itu masih terbatas pada Majapahit, Singasari, Daha dan Kahuripan ditata dengan baik. Hubungan tatanegara dibentuk sampai pada daerah-daerah yang jauh dan bahkan desa-desa terpencil.

Setiap tahun pada bulan Caitra (Maret/April), pimpinan daerah sampai desa terpencil datang ke pusat pemerintahan untuk memeriahkan perayaan agung tahunan Caitra, yang antara lain diisi dengan pertemuan besar bagi seluruh pemimpin daerah.

Pada perayaan itu pemerintah pusat berkesempatan memberikan dan mensosialisasikan kebijakan pemerintah, sehingga tidak ada informasi yang tidak sampai di telinga setiap rakyat Majapahit, Wilwatikta Agung.

Sistem perdagangan mulai ditata. Pasar-pasar dibangun. Setiap hasil bumi dari daerah didistribusikan secara merata ke seluruh daerah lain.

Majapahit menjadi pusat perdagangan di timur Jawa setelah Singasari runtuh. Pusat pasar kotaraja Majapahit yang berada di sisi jalan raya yang membelah kotaraja Majapahit mulai ramai.  Bukan saja para penduduk kotaraja, para pedagang dari daerah-daerah lain ikut menjajakan dagangan mereka.

Perdagangan bertambah ramai apabila ada kapal besar merapat di bandar kecil sungai Brantas seperti di Canggu dan delta sungai Brantas. Untuk menjual dagangan mereka, para pedagang dari Cina dan India bahkan ada yang menetap untuk waktu lama di tlatah Majapahit.            

Mereka membawa barang-barang dagangan dari negeri mereka atau negeri lain yang sempat mereka kunjungi untuk dijual di Majapahit. Mereka kembali ke negara mereka dengan membawa barang-barang yang dibelinya di Majapahit.

Kadang-kadang mereka menyempatkan diri singgah di Suwarnabhumi, untuk membeli barang-barang yang dapat dijual di negaranya. Saat itu, Suwarnabhumi menjadi pusat perdagangan yang sangat ramai di selat Malaka. Para pedagang dari beberapa negara saling menjual barang dagangan mereka di sana.

Beberapa pedagang Majapahit sengaja berlayar ke Suwarnabhumi membeli dagangan dengan harga lebih murah dan jenis yang sangat beragam seperti bahan tenunan, pewarna atau jenis perak khusus dari Suwarnadwipa untuk dijual di pasar kotaraja. Para bangsawan Majapahit sangat menyukai barang-barang yang diperdagangkan mereka.

Dengan keuntungan yang berlipat, para pedagang itu berangkat ke Suwarnabhumi dengan membawa barang dagangan dari tanah Jawa, pulangnya mereka membawa barang dagangan dari negeri sebrang. Begitu seterusnya.

Para pedagang dari desa terpencil dengan mengendarai pedati membawa hasil bumi desa  mereka untuk dijual atau ditukar dengan barang lain yang dibutuhkan di desa mereka. Para penduduk kotaraja sudah terbiasa bergaul dengan berbagai etnis masyarakat, golongan dan kebudayaan. Bahkan beberapa penduduk sudah banyak yang belajar berbagai bahasa yang digunakan oleh orang asing.

Itulah sebabnya pada saat pemerintahan Hayam Wuruk, majapahit mengalami zaman keemasan. Salah satu bandar besar di selat Malaka, Suwarnabhumi, bukan saja berfungsi sebagai bandar pelabuhan biasa. Namun Gajah Mada menata Suwarnabhumi sebagai lalu-lintas perdagangan di selat Malaka. Karena Cina tidak campur tangan terhadap kebijakan ini, memudahkan Majapahit melakukan upaya dan kinerja eksport-import yang sangat maju.

Tata-kota dibangun dengan sangat terencana.

Penggalian situs-situs bekas kerajaan Majapahit di Trawulan membuktikan bahwa Majapahit pada saat itu telah membuat parit-parit bawah tanah.

Di kotaraja, saluran air bawah tanah menggunakan terakota. Tata-letak bangunan diatur dengan baik. Banyak ditemukan sumur-sumur di area bangunan kotaraja dengan genteng yang sudah terbuat dari tanah liat/terakota. Ini membuktikan bahwa masyarakat perkotaan sudah maju dan berperadaban tinggi.

Para petinggi yang dianggap sudah waktunya diganti, entah karena usia atau kemampuan, digantikan dengan orang-orang muda yang berwawasan luas, kapabel dan memiliki moral, tidak perduli dari kasta mana orang itu berasal.

Para raja yang tersebar di seluruh perairan Nusantara dipersatukan dalam satu konsep: Persatuan Nusantara.

Mereka tidak lagi boleh saling berperang untuk memperebutkan daerah dan kekuasaan masing-masing. Yang ada adalah bagaimana untuk bersama-sama menciptakan kerukunan, kebersamaan dan saling pengertian.

Terjadi pertukaran kebudayaan, sumber daya dan ilmu pengetahuan bagi kemajuan bangsa dan negara besar: Dwipantara, 'Nusantara Raya'.



Uraian NAGARAKRETAGAMA tentang GAJAH MADA


Nagarakretagama adalah sastra kakawin karya pujangga besar Rakawi (mPu) Prapanca yang juga bernama Nadendra, seorang Dharmadhyaksa ring Kasaugatan (Budha), menggubah sampai dengan tahun 1365.

Ditemukan pertama kali di Puri Cakranegara, Lombok, dengan teks dalam huruf Bali.

Pada bulan Juli 1978 mulai ditemukan naskah Nagarakretagama di beberapa tempat di Bali: di Amlapura (Karang Asem), di Geria Pidada di Klungkung dan dua naskah lagi di Geria Carik Sideman.

Yang di Amlapura, milik seorang guru, pada halaman pertama tertulis wawacan Jawa, artinya isi naskah itu bertalian dengan sejarah Jawa (Majapahit).

Pertama kali diterbitkan dalam huruf Bali, kemudian diterjemahkan oleh H. Kern dengan beberapa keterangan dari N.J. Krom. Pigeaud menerbitkan Nagarakretagama dengan judul: Java in the Fourteenth Century yang terdiri dari lima jilid. Slamet Mulyana juga menerbitkan Nagarakretagama ini.

Dari 98 pupuh dan 384 pada, Gajah Mada hanya disebut dalam sepuluh pada, antara lain :

"Sebelah timur laut adalah tempat tinggal sang Gajah Mada, Patih dari Majapahit yang utama, seorang menteri yang perwira, bijaksana dalam kepemimpinan serta jujur dan berbakti pada raja, fasih dan tajam bicaranya, hormat, tenang, teguh pendirian, gesit dan tidak ragu-ragu dalam tindakan, pengawas tertinggi istana raja dan mengamankan kejayaan raja sebagai penguasa dunia." (Nagarakretagama 12.4 :10).

"Ada sebuah pemukiman tempat seorang pemeluk agama Budha, yaitu Madakaripura, terpuji keindahannya, pemukiman anugerah raja kepada patih Gajah Mada, tempat peristirahatannya sangat teratur dan dihias, ingin meninjau, (mereka) pergi ke sana melewati Trasungai, mandi di Capahan dan mengadakan pemujaan." (Nagarakretagama 19.2:17)

"Dalam tahun saka, api panah matahari (1253) musuh musnah, Sadeng dan Keta diserang oleh pasukan sendiri, pada waktu itu, perlindungan dunia diserahkan pada sang menteri yang bernama Mada yang sangat arif." (Nagarakretagama 49.3:36)

"Pada pagi hari tersebutlah sang Raja keluar menerima para keluarga dan menteri sudah berkumpul, para pangeran dan lain-lain serta para patih duduk teratur di bangsal. Di sana patih yang perwira Gajah Mada menghadap, tunduk dan berkata dengan hormat, bahwa ada penghormatan pelepasan raja, semua supaya jangan mengabaikan." (Nagarakretagama 63.1:48)

"Di sana hadir sang Raja, semua menghadap menghormat selalu, ikut serta terutama menteri patih Gajah Mada, semua dengan keluarga menghadap, serta para kepala daerah dari wilayah  pinggiran serta raja dari daerah lain, sesudahnya semua berbakti dan menghormat duduk sesuai jabatan dan tata cara." (Nagarakretagama 65.2:49)

"Sang Mahapatih Gajah Mada pada hari itu menghadap dan menghaturkan sesaji, para wanita yang menanggung duka berdekatan, jelita di bayangan pohon nagasari dan rajasa yang berbelit, para menteri dan pangeran yang bertanggungjawab pada daerah ikut serta, juga para warga desa ikut menghaturkan sesaji, bermacam bentuk tempat makanan mereka, ada yang berbentuk kapal, gunung, rumah, ikan, tak putus-putusnya." (Nagarakretagama 66.2:51)

"Ketika raja pulang dari Simping, segera datang di istana, prihatin kerena sakitnya menteri adimantra Gajah Mada, ia telah berusaha untuk meluaskan pulau Jawa pada  waktu lampau, yaitu dengan Bali, Sadeng, bukti keberhasilannya memusnahkan musuh." (Nagarakretagama 70.3: 54)

"Tiga, angin dan matahari tahun saka (1253) ia memangku tanggungjawab kesejahteraan dunia, ia wafat pada tahun saka rasa badan matahari (1286), raja sedih dan berduka, hanya karena keagungan citanya, ia tidak memegang teguh cinta keduniawian, ingat akan hakekat makhluk, kebaikan saja yang setiap hari difikirkan. Adapun pada pertemuan itu, raja dengan ayahanda berkumpul, beserta ibu serta dua suadara raja tercinta ikut, mereka berkumpul/bermusyawarah tentang dia, yang tahu segala kebajikan dan dosa, abdi raja, untuk mengganti sang patih, diperbincangkan (namun) tak ada berkenan di hati, menjadikan kesedihan yang menusuk. Raja mengambil kebijakan dari sang Patih yang tak dapat diganti, karena tak ada yang dapat mengganti, apabila ada kesulitan, urusan negara (sementara) didiamkan, sebaiknya dipilih oleh raja menurut pandangan beliau dari para pangeran yang bijak, yang dapat dipercaya kata-katanya dan tahu apabila yang lain tak setuju, tanpa salah." (Nagarakretagama 17.1,2,3 55)

LIMA BELAS SIFAT GAJAH MADA

Selama hampir dua tahun setelah Gajah Mada mengundurkan diri, dan kursi Mahapatih Amangkubumi kosong, Hayam Wuruk merasa kewalahan memimpin Majapahit.

Itulah sebabnya pada bulan Bhadrapada tahun saka 1281 (= Agustus 1359) Gajah Mada diminta kembali duduk di kursi Mahapatih Amangkubumi. Pada tahun yang sama, ketika Hayam Wuruk melakukan  perjalanan keliling ke Lumajang, Gajah Mada ikut serta dalam rombongan, tercatat dalam Nagarakretagama pupuh XVII-LX.

Tiga tahun kemudian setelah Gajah Mada kembali duduk menjabat Mahapatih Amangkubumi, Gajah Mada jatuh sakit.

Hal ini terjadi setelah Sri Rajasanegara pulang dari Simping pada tahun 1362, tercatat dalam Nagarakretagama:

Ketika raja pulang dari Simping, segera datang di istana, prihatin kerena sakitnya menteri adimantra Gajah Mada, ia telah berusaha untuk meluaskan pulau Jawa pada  waktu lampau, yaitu dengan Bali, Sadeng, bukti keberhasilannya memusnahkan musuh. (Nagarakretagama 70.3: 54)

Walau kemudian dipanggil kembali ke istana pada tahun 1359, Gajah Mada tampak sudah sangat tua. Gairah politiknya menurun. Dia lebih banyak melakukan pendekatan kepada Sang Hyang Pencipta.

Di Madakaripura, tempat asri yang sangat indah dan sejuk, Gajah Mada menghabiskan akhir-akhir hidupnya. Kekecewaan bathinnya mempengaruhi fisik lahiriahnya. Sebagai manusia biasa Gajah Mada tidak dapat menolak takdir. Tahun ke tahun kesehatannya semakin menurun.

Tahun 1362 diberitakan Gajah Mada sudah sulit melakukan aktifitas hariannya. Dia banyak berada di pasanggrahannya dekat air terjun yang sangat indah dan memberikan kekaguman setiap insani ditemani istri setianya Ken Bebed.

Dua tahun sejak diberitakan sakit yang sangat serius, Gajah Mada mangkat meninggalkan kepedihan hati setiap orang yang pernah mengenalnya.

Menurut Nagarakretagama pupuh LXXI/1 dengan candrasangkala rasa-tunu-ina, Mahapatih Gajah Mada mangkat tahun saka 1286 (=1364 Masehi), sebagai berikut:

Tiga, angin dan matahari tahun saka (1253) ia memangku tanggungjawab kesejahteraan dunia, ia wafat pada tahun saka rasa badan matahari (1286), raja sedih dan berduka, hanya karena keagungan citanya, ia tidak memegang teguh cinta keduniawian, ingat akan hakekat makhluk, kebaikan saja yang setiap hari difikirkan.

Adapun pada pertemuan itu, raja dengan ayahanda berkumpul, beserta ibu serta dua suadara raja tercinta ikut, mereka berkumpul/bermusyawarah tentang dia, yang tahu segala kebajikan dan dosa, abdi raja, untuk mengganti sang patih, diperbincangkan (namun) tak ada berkenan di hati, menjadikan kesedihan yang menusuk.

Raja mengambil kebijakan dari sang Patih yang tak dapat diganti, karena tak ada yang dapat mengganti, apabila ada kesulitan, urusan negara (sementara) didiamkan, sebaiknya dipilih oleh raja menurut pandangan beliau dari para pangeran yang bijak, yang dapat dipercaya kata-katanya dan tahu apabila yang lain tak setuju, tanpa salah. (Nagarakretagama 17.1,2,3 55)

Walau hanya sedikit yang ditulis Prapanca mengenai orang besar yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk negara itu, dalam Nagarakretagama Prapanca menuliskan sedikitnya ada lima belas sifat Gajah Mada, yaitu:

WIJAYA, artinya berlaku tenang dalam menghadapi persoalan yang sangat genting.

MANTRYWIRA artinya pembela negara yang berani dan gagah.

WICAKSANENGNAYA, artinya bijaksana dalam segala tindakan.

MATANGGWAN, artinya menghormati dan memegang kepercayaan (rakyat dan negara) mempertanggung-jawabkan kepercayaan itu.

SATYABHAKTY APRABHU, artinya setia dengan hati yang ikhlas kepada negara dan Sri Mahkota.

WAGMI WAK, artinya pandai berbicara (pidato) dan meyakinkan buah pikirannya kepada orang lain.

SARJJAWOPASAMA, artinya rendah hati, tidak sombong, bermuka ma nis, tulus, ikhlas, lurus dan sabar.

DHIROTSAHA, artinya rajin bekerja dan sungguh-sungguh, tak mengenal lelah, teguh hati.

TAN LALANA, artinya bersifat gembira, kalau sedih tidak membutuhkan hiburan dari luar.

DIWYACITRA, artinya demokratis, mau mendengarkan pendapat orang lain.

TAN SATRISNA, artinya tidak ingin dikultuskan dan yang terpenting, sangat menjaga hawa nafsu berahi, tidak pamrih.

SIH-SAMASTABHUWANA, artinya menyayangi dan menyatu dengan alam jagad raya ini, menyayangi seluruh isinya. Memelihara dan bersahabat dengan makhluk hidup, alam flora dan fauna di Jagad Raya ini.

GINONG PRATIDINA, artinya selalu mengerjakan yang baik dan meninggalkan perbuatan buruk, setiap hari yang difikirkannya hanya kebaikan belaka.

SUMANTRI, artinya menjadi pegawai negeri yang senonoh, setia kepada hukum, tidak korupsi dan memanfaatkan jabatan, menyalahgunakan wewenang.

ANAYAKEN MUSUH, artinya memusnahkan musuh dengan gagah berani demi cita-cita luhur, untuk negara dan bangsa. Tindakan ini diambil apabila pendekatan persuasif dan perdamaian tidak dapat ditempuh.

Setelah Gajah Mada tiada, jabatan Mahapatih Amangkubumi kosong. Rapat Dewan Sapta Prabhu memutuskan tidak ada orang yang tepat menggantikan Gajah Mada. Sehingga untuk jabatan Mahapatih Amangkubumi dipegang langsung oleh Sri Rajasanagara Hayam Wuruk.

Baru pada tahun saka 1293 (=1371 M) dengan candrasangkala guna-sanga-paksaning-wong, Gajah Enggon diangkat sebagai Mahapatih Amangkubumi sampai tahun saka 1320 (=1398 M) dengan candrasangkala sunya-paksa-kaya-janma.

Salam Nusantara..!

Renny Masmada                                                                       

www.rennymasmada.com
http://rennymasmada.wordpress.com/

Comments
Add New Search
Write comment
Name:
Email:
 
Website:
Title:
UBBCode:
[b] [i] [u] [url] [quote] [code] [img] 
 
 
:angry::0:confused::cheer:B):evil::silly::dry::lol::kiss::D:pinch:
:(:shock::X:side::):P:unsure::woohoo::huh::whistle:;):s
:!::?::idea::arrow:
 
Please input the anti-spam ../../../../code/default.htm that you can read in the image.

3.20 Copyright (C) 2007 Alain Georgette / Copyright (C) 2006 Frantisek Hliva. All rights reserved."

 
< Sebelumnya   Berikutnya >

Daftar Posting

© 2010 Rumah Cerdas Kreatif
Joomla! is Free Software released under the GNU/GPL License.